Kepada Juni Aku Berharap

Juni 01, 2020

Kabut ini sangat tebal dan cukup untuk menutup penglihatanku. Bukan mata, melainkan batin yang sedari dulu lemah berbisik pada empunya. Aku berjuang menyalakan pelita mungil untuk kubawa dan kutemukan jalanku, jalan kita.


Purnama berlalu seakan tak pernah tumbuh rindu padanya. Bukan tak tumbuh rindu, melainkan demikian bagaimana purnama bekerja. Lima bulan telah berlalu dan bersamanya terukir beragam kisah. Juni, kamu istimewa. Kamulah akhir dari setengah periode tahun cantik ini. Kamu adalah titik akhir bagi kami untuk mengukur seberapa banyak resolusi tahun ini telah kita capai. Atau menyentuh pun tak mampu? Biarlah Juni yang akan menjawab itu, bukan aku.


Izinkan aku berterima kasih


Terima kasih aku lukiskan akan setiap kisah yang telah berlalu di lima purnama tahun ini. Akan luka yang telah menempaku menjadi sosok yang lebih kebal. Serta luka yang dengan ikhlasnya mengajarkanku rasa sakit. Namun, ternyata luka tak selamanya sakit, bersama waktu dia berhasil menyadarkanku bahwa perih itu adalah satu hal baik yang membuatku menjadi lebih dewasa dan tangguh.


Terima kasih atas rasa kecewa yang telah menyadarkanku untuk membangun hati yang lebih tegar. Mengingatkanku betapa pentingnya ruang kecewa dan betapa ringkihnya hati yang terlalu tinggi untuk berharap. Kecewa tak selamanya pahit selagi kita berhasil meramunya dengan hati yang lapang. Seperti secangkir espresso, mereka akan terasa manis ketika kita tahu bagaimana cara untuk menikmatinya.


Terima kasih kepada pandemi yang membuatku belajar untuk memupuk rindu. Rindu akan hangatnya sebuah temu, serta rindu yang menyadarkanku betapa pentingnya untuk memaknai setiap detik waktu yang telah berlalu bersama sosok terbaik. Yakni mereka, yang bahkan kali ini berubah menjadi sebatas halu. Pandemi, kamu sungguh jahat tapi kamu adalah sosok berharga yang membuatku belajar merindu.


Terima kasih kepada sosok-sosok hebat yang tak lelah mengingatkanku bahwa tak ada kata sendiri. Kepada pahit yang membuatku sadar akan berharganya manis. Kepada bahagia yang menghidupkan setiap dukaku. Kepada tangis yang setia menguatkanku. Dan kepada kalian, yang mengajakku belajar akan hal baru dalam hidup. Terima kasih kepada semesta, Yang Maha Bercanda.


Juni, aku bersaksi


Aku cukupkan masaku untuk belajar akan bab itu. Merupakan saat yang tepat bagiku untuk membuka bab baru dan mengukir setiap noda dalam lembaran yang telah digariskan oleh semesta. Bukankah hidup adalah pilihan? Tuhan menganugerahkan kita dua mata, dua telinga, satu mulut, satu hidung, dan satu otak. Tidak lain melainkan agar kita lebih banyak melihat, mendengar, mencium, namun sedikit berbicara dan lebih banyak merenung atas setiap kisah yang telah lalu.


Juni, aku bersaksi bahwa akan aku tutup setengah tahun ini dengan akhir yang baik. Meskipun, aku tidak tahu sudah berapa banyak janji yang aku buat pada teman-temanmu yang lalu. Masih ingat dengan kuat, Januari, Februari, Maret, April, dan Mei silakan menjadi baik. Mereka baik padaku, hanya aku yang masih terkungkung dengan masa lalu dan membuatku berjibaku dengan dukaku.


Jadilah purnama yang lebih terang. Yang mampu lebih dalam merobek kelamnya egoku dan memberikan harapan hidup pada nurani yang telah membatu nan membuta. Jadilah purnama yang elok dan mampu mengalihkanku akan riuh nan gaduh yang selama ini bersemayam dan mengancamku. Ingatkanlah aku pada enam purnama lain yang menungguku untuk kuukirkan kisa manis di setiap relungnya.


Aku bukanlah pribadi yang kuat akan pendirian dan tutur kataku. Namun aku selalu berjuang untuk menjadi sosok itu. 


Entahlah.. Namun, biarlah kelam itu bersemayam denganku. Aku tidak akan berubah dan melepas sisi kelamku, biarkan dia bersamaku. Hingga suatu saat aku dapat membuka bab-bab itu dan belajar kembali atas sosok diri ini yang lain. Bukankah seorang pemenang bukan hanya yang memegang medali? Melainkan mereka yang mampu memaknai setiap jatuh yang mereka lalui kemudian bangkit untuk menjadi seorang pemenang yang sebenarnya.


Juni, jadilah baik karena kepadamu aku berharap.


Aku merasa kabut ini kian gelap. Ia berdesir dan berbisik lirih akan riuh yang telah lalu. Api pada pelitaku bergetar. Hanya satu kuasa yang membuatku bertahan. Aku tidak sendiri dan aku mampu menemukan jalanku. 


You Might Also Like

1 komentar

Like us on Facebook

Followers