Untuk memulai tulisan ini aku ingin menyampaikan sebuah pertanyaan retoris. Apakah kalian pernah berharap akan sesuatu namun berakhir dengan kekecewaan mendalam? Tidak usah dijawab. Beneran tidak usah dijawab.
Dari kecil kita telah dididik untuk memiliki mimpi, cita-cita, atau segala istilah yang merujuk pada satu konsepsi yaitu "Berharap". Tidak hanya berharap namun kita juga telah ditanamkan dogma, bahwa segalanya memerlukan perjuangan. Tidak salah jika banyak dari orang tua kita yang kemudian memberikan tuntutan, merancang masa depan, dan berupaya penuh untuk mencapai itu semua. Namun, menjadi tua tak bisa sepenuhnya dibenarkan. Mendorong anak untuk berharap, merancang untuk mencapainya, namun mereka lupa untuk menyiapkan hati yang lapang.
Aku tidak hanya berbicara tentang cita-cita, melainkan tentang konsepsi yang lebih luas. Anak-anak itu kini telah beranjak dewasa, ia telah menaruh harap pada banyak hal. Karier, teman, kepemilikan, atau dalam sebuah hubungan. Mereka telah ditempa untuk memilik mental pemimpi dan berharap akan sesuatu. Namun mereka jarang ditempa untuk menerima hasil yang kadang tak berbanding lurus dengan apa yang mereka harapkan.
Membangun ruang kecewa bukanlah wujud menyerah pada kenyataan. Melainkan wujud pertahanan diri akan ketidak pastian yang mungkin dapat menghancurkan angan dan hati.
Membangun Ruang Kecewa itu Perlu
Tak jarang, ketika anak-anak itu gagal untuk memperoleh apa yang ia inginkan ia akan berada pada posisi terpuruk dan terendah. Hal ini bukan karena tanpa alasan, kita telah terbiasa untuk menaruh dan menyerahkan hati kita sepenuhnya pada apa yang kita harapkan. Taruhlah pada seseorang yang kita harapkan, kita berikan satu-satunya hati pada sosok tersebut, hingga tiba ketika ia memilih untuk pergi, hati kita akan dibawa dan meninggalkan kenangan.
Maka, menjadi hal yang wajar jika aku berpendapat bahwa membangun ruang kecewa adalah wujud pertahanan diri. Tidak menyerahkan waktu, hati, emosi kita sepenuhnya adalah salah satu kunci. Bukan bermaksud menjadi egois atau tak peduli, melainkan kita memahami bahwa semua harapan tak sepenuhnya akan selalu terjadi. Hingga pada titik itulah kita sudah bersiap untuk menyiapkan segala kemungkinan dan tentunya untuk menata diri.
Cara Membangun Ruang Kecewa
Jika kita sudah tahu apa konsekuensi ketika kita tidak membangun ruang kecewa, lantas bagaimana caranya untuk membangun ruang kecewa? Sbenarnya aku bukanlah orang yang tepat, namun setidaknya aku pernah mengalaminya.Tidak berharap penuh
Tidak berharap penuh bukan berarti membuat kita menjadi seseorang yang tidak memiliki ekspektasi. Tentu harapan dan visi adalah hal yang wajib dimliki. Namun ketika merumuskan harapan dan mimpi tersebut, pada waktu yang bersamaan kita membangun sebagian ruangan di dalam hati kita akan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Kita tidak sepenuhnya berangan akan hal tersebut tercapai, melainkan membangun ruang akan kemungkinan hal tersebut dapat tidak terjadi.Melakukan yang Terbaik
Ketika kita sudah berhasil mebangun harapan dan ruang untuk kecewa. Satu-satunya kunci selanjutnya adalah dengan berusaha untuk melakukan yang terbaik. Ketika kita beusaha untuk melakukan yang terbaik, itu tandanya kita telah bekerja dengan ikhlas dan semaksimal mungkin untuk merealisasikan harapan itu. Jika memang belum memiliki kesempatan untuk memperolehnya, setidaknya kita telah berusaha yang terbaik akan hal itu.Meyakini bahwa Ada Kuasa di Luar Sana
Kita manusia adalah pelaku akan upaya yang kita rencanakan. Di luar kendalinya terdapat kuasa yang lebih besar yaitu Tuhan dengan SemestaNya. Menanamkan prinsip ini adalah puncak dari membangun ruang kecewa. Mempercayai bahwa terdapat kuasa di luar diri kita dilakukan dengan menamkan harapan secukupnya, melakukan yang terbaik, dan berserah akan kuasa semesta. Menanamkan keyakinan akan membuat kita kuat ketika kenyataan belum sesuai dengan harapan, karena kita yakin bahwa Tuhan dengan SemestaNya memiliki rencana lain yang terbaik.Gelap yang mendekam dalam diri masih senantiasa terkungkung. Hanya waktu yang akan setia berusaha membawakan secercah cahaya agar dia kembali dapat melihat. Melihat kenyataan bahwa semesta tidak bercanda, semesta telah berencana, kita berusaha, semesta yang berkuasa untuk menjadikannya ada.