Aku bukan muggle (part 1)

September 01, 2016




Selamat pagi dunia, dunia muggle!

Perkenalkan namaku Saventya Alzahra, bocah 15 tahun lahiran muggle yang hidup di pelosok Yogyakarta. Aku ialah anak desa yang selama sepuluh tahun hidup dalam hiruk pikuk aktivitas pedesaan mulai dari bertani, menggembala sapi dan bermain air di sungai yang masih cukup jernih. Mengenai sekolah, aku menjadi salah satu anak desa yang cukup beruntung untuk dapat mengenyam pendidikan di bangku sekolahan. Meskipun bagiku dapat membaca dan menulis sudah sangat cukup. Selama sepuluh tahun itu pula aku merasakan kehidupan yang bisa dikatakan normal dimata anak pada umumnya. Hanya beberapa kali saja dalam hidupku aku menerima ‘mukjizat’ yang salah satunya adalah ketika aku berhasil menyelamatkan temanku dari tenggelam di sungai tanpa sedikitpun menyentuhnya. Cukup aneh memang, namun tak ada pikiran aneh dalam benakku, toh yang terpenting adalah temanku selamat.

Begitulah hidupku selama sepuluh tahun dengan kenormalan-kenormalan lainya. Namun kenormalan itu mulai pudar tepat pada pertengahan bulan Agustus tahun 2011 lalu. Sudah beberapa hari beberapa burung gagak terbang berputar di atap rumahku. Tak hanya itu saja, sering terdengar uhuk an burung hantu memecah kesunyian di malam hari. Aku yakin seyakin-yakinnya tak ada satupun tetanggaku yang memelihara burung hantu dan bahkan sangat jarang bagi kami melihat sosok burung hantu di desa ini. Kejanggalan itu berlangsung hingga puncaknya pada sore hari di hari kemerdekaan RI. Langit sore memudar dan menggelap dipenuhi oleh awan hitam. Rasa dingin menyeruak dari setiap celah dinding anyaman bambu rumah kami. Di luar rumah, keadaan cukup mencekam tak ada tanda-tanda kehidupan seperti biasanya. Berulang kali aku tengok jam dinding lusuh yang senantiasa menunjukkan pukul empat sore. Sekadar memastikan bahwa sebenarnya malam hari belum lahtiba. Aku memutuskan untuk membuka catatan sekolahku, mengulang pelajaran kelas lima SD yang sebenarnya jauh dari kata sulit bagiku. Ya, aku terlahir dengan kecerdasan di atas rata-rata, berulang kali guru dan teman-temanku bertanya apa yang aku makan dan bagaimana aku menjadi seperti ini. Namun dari sekian banyak pertanyaan itu, hanya satu jawabanku yakni “belajar”. Dan ekspresi mereka pastilah sama, ekspresi murung menunjukkan kekecewaan atas jawabanku.

Sepuluh menit terjerat dalam memori pelajaran aku dikagetkan dengan suara yang mirip kibasan kain di depan rumah yang disusul dengan ketukan cukup keras tepat di pintu rumah kami. Aku menunggu beberapa saat menunggu ketukan pintu untuk yang kedua kalinya guna memastikan bahwa memang tak ada yang salah dengan pendengaranku. Dan benar saja sedetik kemudian ketukan pintu yang kedua terdengar. Aku bergegas menuju pintu dan membukanya. Di balik pintu berdiri sesosok pria asing berjubah hijau menyapu tanah. Perawakannya cukup tinggi dengan jenggot putih keperakan sampai ke pinggang. Penampilan yang cukup aneh berhasil membekukan tubuhkan dan membuka mulutku dengan ekspresi keheranan. 

“Good evening Saventya”, sapa sosok asing itu dengan senyuman merekah di bibir tipisnya.

Aku cukup mengerti itu adalah kalimat sapaan dalam bahasa inggris, yang berulang kali disampaikan oleh Miss Padmi, guru bahasa inggris kami di sekolah. Dan sangat aku ingat bagaimana cara membalas sapaan itu. Namun rasa terkejut justru menguasai mulut dan pikiranku. Tak ada satu kata pun yang keluar dari mulutku. Sedetik kemungkinan pria itu mengeluarkan botol kecil mirip parfum-parfum mewah yang sering diiklankan di TV. Ia menyemprotkannya tepat di wajahku yang untuk kedua kalinya berhasil mengagetkanku. 

Pikiran buruk hanyut dalam benakku, aku diculik, aku diracun, aku di bius, itulah kata-kata yang senantiasa terbang dalam otakku. Dilain hal aku merasakan sesuatu yang hangat, ibarat menari di atas bukit penuh bunga di bawah terik matahari yang menghangatkan. 

“Bagaimana kabarmu Saventya?” senyum kembali merekah dari bibir tipisnya.
“Alhamdulillah baik, maaf Anda siapa ya? Balasku

Aku merasakan ada yang janggal, aku mendengar percakapan kami dalam bahasa inggris, namun dengan sangat yakin seyakin-yakinnya aku dapat memahaminya selayaknya dalam percakapan bahasa Indonesia. 

“Bolehkah saya masuk? Saya dengar ibu mu sedang memasak gudeg? Saya akan menjelaskan semuanya di dalam” 

Wajah pria itu agak menunduk ke bawah dan dengan tak henti-hentinya memamerkan senyum tipisnya.

“Oh, tapi bagaimana Anda........, eh silakan masuk”

Aku persilakan masuk pria itu dan langsung aku arahkan menuju kursi tamu lusuh yang pastinya nampak sangat kecil jika ia duduki. Segera kupanggil ibuku di dapur dan cukup kagetnya ia ketika melihat sesosok pria asing dengan pakaian aneh itu duduk di ruang tamu kita.

Bersambung

You Might Also Like

0 komentar

Like us on Facebook

Followers