"Mie ayam dua pak, satu porsi biasa, yang satuu..."
"Yang satu ga pakai sawi, pangsitnya dipisah ya pak biar ga melempem. Sama minta garam biar bisa ditambahin sendiri garamnya." lanjutku lengkap.
"100 buat lo Sa, apal banget sih!"
"Hmm", Alisku kuangkat tanda sepakat, otakku membangun skenario itu lagi.
Mana mungkin Tuhan menyatukan dua manusia dengan dua inti yang berbeda. Kamu yang mencari kebahagiaan dari drama romance comedy, musik up beat penuh semangat. Sedangkan aku dengan drama alur sad ending, musik mendayu dilengkapi dengan nada-nada sendu. Bukan sebatas bualanku saja, tapi memang begitu adanya. Kamu cerita dengan lantang bahwa kamu menghindari kisah sedih dalam bentuk apapun, katanya itu membuatmu tidak nyaman.
"Gue skip scene sedih, biar gue ga ikutan sedih. Gue cuman mau nonton drakor yang happy ending aja", Katamu dengan penuh percaya diri.
Hal yang membuatku bergidik hanya untuk membayangkannya. Mie ayam yang semulanya enak seperti kehilangan keampuhan memikatnya. Sedetik kemudian Tuhan seakan mengingatkanku bahwa kita benar-benar ada di dua folder yang berbeda. Aku dengan list panjang drama dan musik sedih, yang semua covernya dominan warna hitam, senja, atau figur artis dengan muka sembabnya. Sedangkan kamu tiga ratus enam puluh derajat berbeda dengan folder dominan cerah, disertai tulisan dan gambar iconic yang mengisyaratkan nuansa ceria.
Huh, kuhembuskan nafasku berat, seakan kudorong seluruh penat dan beban bersamanya. Lagi-lagi aku bertanya, Bagaimana mungkin Tuhan akan menyatukan dua manusia dengan dua inti yang berbeda. Tidak mungkin. Pantas saja kamu memiliki empati yang lemah, mungkin karena kamu tidak terbiasa merasakan bagaimana sakitnya posisi orang yang tertindas oleh beragam ekspektasi dan tuntutan. Tapi aku yakin kamu juga bertanya-tanya, pantas saja aku selalu murung, karena aku lebih memilih meromantisasi kesedihan, meskipun sebenarnya sedang tidak sedih.
Otakku selalu berpikir bagaimana caranya aku bisa menyamakan folder kita. Setidaknya aku sudah mencoba mendengarkan list musik upbeat meskipun seringkali rasanya tetap hampa. Tapi itu yang aku selalu berusaha untuk menikmati setiap hal yang kamu suka. Lagi-lagi aku terperangkap dalam keadaan "gapapa yang penting orang lain senang". Tapi berjalan dengan tugas ini bukanlah hal yang mudah. Itu yang aku rasakan.
"Apa titik terendah dalam hidup lo, pernah ga sih lo sedih, kapan lo terakhir nangis?" Lemparku memecah hening kantin kampus waktu itu. Entah kemana mahasiswa-mahasiswa ini, tumben sepi.
"lupa, kayaknya ga pernah". Jawabmu lugas.
Tubuhku bergidik part 2. Bisa-bisanya orang tidak pernah merasa sedih. Menangis pun lupa. Apakah benar inti dirimu sebahagia itu? Jika memang demikian, pasti kamu tidak akan pernah bisa menempatkan empatimu sebagai diriku. Seseorang yang sepertinya setiap hari ada saja yang membuatku sedih. Bahkan sekadar makan di pinggir jalan bisa manjur membuatku nangis hanya karena melihat ada anak kecil yang jualan tisu keliling.
"Kalau lo kapan?" tanyamu.
"Semalam." Jawabku cepat, mungkin kalau ini lomba cerdas cermat, aku sudah juara.
Wajahmu menunjukkan ekspresi terkejut. Tapi lihat, hanya beberapa detik saja, pasti empatimu gagal untuk tumbuh. Huft, aku kalah, lebih tepatnya, aku lelah. Pikiranku mulai berseluncur dalam beragam praduga. Aku salah ya kalau lebih nyaman untuk meromantisasi kesedihan. Hingga aku terpikir, aku ga layak ya 'berteman' denganmu. Attair Sadewa, nama yang indah, energic, sumber kebahagiaan dan energi positif orang-orang di sekitarmu. Disinilah puncaknya, aku kembali mempertanyakan hubungan kita yang penuh dengan ketidakjelasan.
"Kenapa?" tanyamu memotong lamunanku.
"Hah? enggak itu ada Pak Sapto." Jawabku meracau, memang benar Pak Sapto si dosen killer itu lewat.
"Bukan, maksud gue kanapa lo nangis?" Sergapmu. Aku pun panik.
"Eh, ehm. Enggak tahu juga, pengen sedih aja" Jawabku tidak jelas, aku kekurangan satu poin dalam lomba cerdas cermat ini.
"Gamungkin lah orang sedih tanpa alasan, pasti ada." Tanyamu memaksa.
Ini bukan lagi lomba cerdas cermat, batinku. Ini adalah lomba debat dengan motion impromptu (read: motion dadakan yang diberikan oleh juri). Otakku harus berpikir cepat untuk memberikan definisi yang jelas agar argumenku kuat. Ingat, waktunya kurang dari satu menit untuk menjawab.
"Gue juga ga paham, lagi pengen nangis aja, sedih aja bawaannya."
Aku gagal membawa perdebatan ini dalam ruang debat yang jelas, jelas juri akan mengurangi nilaiku.
"Nah kan, gue ga paham sama alur pikir lo. Kenapa juga harus sedih sih, fokus sama yang happy-happy aja. Hidup cuman sekali. Bukan apa, gue cuman pengen lo bebas dari pikiran-pikiran itu." Jelasmu.
Yes, ini jawaban terpanjang yang pernah aku dengar. Meskipun aku merasa dipojokkan, aku merasa ini adalah sebuah prestasi yang layak untuk dirayakan. Karena pada akhirnya kamu bisa menyampaikan pikiranmu. Meskipun misiku tetap gagal, menumbuhkan rasa empati dalam dirimu.
"Maaf ya kalau gue bikin lo bingung." Lagi-lagi aku yang minta maaf.
Lamunanku berlanjut sembari memaksakan sendok demi sendok mie ayam untuk masuk ke dalam lambungku. Sepertinya lambungku tau kalau aku sudah tidak nafsu, tapi ia juga tahu kalau saat ini tugas utamanya lebih ke 'membuatku tidak malu'.
Mana mungkin Tuhan akan menyatukan dua insan dengan inti yang berbeda.
Sependek dan sepanjang yang aku tahu, aku memang tidak pernah melihatmu menangis. Kecuali kalau aku kurang lama 'berteman' denganmu. Pikirku hal ini tidak mungkin, aku bahkan tahu kapan kamu bangun dan kapan kamu tidur. Jam enam pagi kamu pasti jogging sekitaran kampus, cari sarapan, foto sungai samping kosan, langsung bersiap ke kampus. Kalau malam kamu pasti sempatkan serangkaian skincare basic mu, main tiktok barang lima belas menit, matikan data hp, dan tidur. Bahkan aku paham seluruh pantangan makanmu, telur rebus setengah matang, sawi, sosis siap makan, dan apapun yang terlalu pedas.
Kalau list itu semua masuk dalam daftar pertanyaan Ujian Nasional, pastilah namaku terpampang di mading sekolah sebagai peraih nilai UN tertinggi se-Provinsi, bahkan Nasional. Tapi apapun capaianku itu selalu datang pada kesimpulan yang sama. Kamu tidak pernah sedih, bahkan menangis. Kita memang mempunya dua inti yang berbeda. Aku harus mengakui itu semua.
"Menurut lo, mungkin ga kalau dua orang yang berbeda kepribadian, bisa berakhir jadi pasangan." Lemparku tanpa sadar.
Benar, tanpa sadar. Otakku sepertinya sudah gila, tidak bekerja seperti lambung yang sendeka dawuh (read: patuh) atas permintaanku.
"Mungkin, tapi sulit", Jawabmu singkat.
Ini bukan bergidik part 3, jauh lebih parah dari itu. Aku seperti dijatuhkan dari Burj Khalifa, gedung tertinggi di dunia yang katamu memerlukan waktu enam tahun untuk menyelesaikan. Seperti katamu dulu juga, orang yang memilih bunuh diri pasti menyesal sedetik dia terjun, karena setan-setan sudah mencabut hasutannya. Lagi-lagi aku kutip seluruh perkataanmu yang mudah sekali terpatri.
Ini memang berbeda konteks, aku tidak sedang bunuh diri. Tapi aku seperti merasakan hancurnya ketika seseorang bunuh diri. Lebih tepatnya karena aku mendorong diriku terjun dari ketinggian, dengan mengajukan pertanyaan yang bahkan aku tidak siap dengan jawabannya. Menurutku, jawabanmu adalah sebuah isyarat bahwa kita tidak ada harapan. Aku kian mengutuk mulutku yang tidak patuh dengan perintahku untuk diam dan memakan seperempat sisa porsi mie ayam.
"Tapi, kalau mereka punya komitmen, pasti bisa." Susulmu sedikit lebih panjang.
Aku tidak jadi bunuh diri, tiba-tiba aku tersangkut dalam knop salah satu diantara 26.000 jendela Burj Khalifa. Sebentar, bahkan aku tidak yakin Burj Khalifa punya jendela yang bisa dibuka tutup, seingatku belum pernah mengutip tentang ini. Tapi intinya aku tidak jadi jatuh.
"Gitu ya, berarti harus ada usaha dari kedua belah pihak." Jawabku gugup.
"Ya begitulah, kenapa sih?" Tanyamu.
Tidak, ini adalah motion impromptu kedua yang harus aku jawab. Tapi sepertinya aku sudah muak, aku pengecut, takut Pak Sapto tidak bisa menjadi alibiku lagi ketika aku ngelantur dalam menjawab pertanyaanmu. Aku sepakat untuk mengabaikan pertanyaan itu. Aku gagal menjadi juara dalam lomba cerdas cermat ini.
Setelahnya, semuanya berjalan dengan normal. Aku tenggelam dalam mangkuk mie ayam yang masih saja ku sisakan seperlima porsinya. Aku lebih lama tenggelam dalam skenario yang menghilangkan semua nafsuku. Senyumu bahkan tak lagi memikat. Aku lebih banyak bertanya pada diriku tentang pertanyaan yang dari tadi belum terjawab.
Jika memang kamu percaya bahwa dua orang dengan inti kepribadian yang berbeda tidak dapat bersatu, mengapa Bu Ainun dan Pak Habibie bisa melukis salah satu kisah cinta yang bahkan seantero Indonesia tahu. Pak Habibie dengan background tekniknya, dan Bu Ainun dengan kedokterannya. Tak lupa dengan Pak Habibie yang selalu mengejek Bu Ainun waktu SMA dengan istilah gula jawa.
Sepertinya kisah Pak Habibie dan Bu Ainun tidak memenuhi kriteria yang telah kamu sebutkan. Namun, kisah mereka lebih sesuai dengan kriteria kedua yang kamu sebutkan. Bertahun-tahun terpisah, Pak Habibie dan Bu Ainun tidak menjalin komunikasi apapun, melanjutkan berjuang pada mimpi masing-masing. Perjuangan mereka dimulai ketika pada akhirnya mereka memilih untuk membangun komitmen satu sama lain.
Jika yang kamu maksud usahamu untuk membangun komitmen kepada orang yang kamu suka, bukankah berarti orang itu bukan aku? Karena aku tidak pernah melihat usahamu untuk membangun komitmen itu, atau sebatas memperjelas hubungan yang sudah terlalu tidak jelas ini.
"Hei, lo kenapa sih" - "Kita ini apa?", Ucap kita bersamaan.
"Eh, apa lo bilang?" Tanyamu
"Eh bukan apa apa, udah kita balik ke kelas aja yuk!" Sergahku memaksa.
Setan apa sebenernya penunggu kantin kampus ini, bisa bisanya aku hilang akal melontarkan pertanyaan haram itu. Draft pertanyaan yang selalu ada di benakku tapi aku berjanji untuk tidak menyampaikannya, sampai kapanpun itu, meskipun jika Pak Sapto menjanjikan nilai A sekalipun. Lagi-lagi Pak Sapto.
Bagaimana mungkin Tuhan akan menyatukan dua insan dengan inti yang berbeda. Kamu dengan inti bahagia, dan aku dengan inti duka. Pertanyaan ini seakan tertempel di sepanjang lorong kampus. Ibarat slogan yang selalu ditanamkan petinggi fakultas agar setiap mahasiswanya sadar dan kembali pada hakikat dirinya masing-masing sebagai mahasiswa di kampus ini. Lima langkah lagi sebelum masuk kelas. Aku merasa terselamatkan, sampai tiba-tiba kamu tarik lenganku.
"Sa, gue tadi denger apa yang lo bilang." Ucapmu memotong keheningan.
Kakiku kaku.
- Bersambung